
Oleh : Muhith, M.Ag
Secara bahasa kata “amanah” berarti dipercaya atau terpercaya. Adapun menurut istilah amanah adalah segala sesuatu yang dipertanggung jawabkan kepada seseorang, baik hak-hak itu milik. Allah maupun hak manusia kepada manusia yang lainnya, baik yang berupa benda, pekerjaan, perkataan, ataupun kepercayaan, sedangkan amanah menurut[U1] al-Qur’an Amanah berasal dari kata amuna yang bermakna tidak meniru, terpercaya, jujur, atau titipan. Segala sesuatu yang dipercayakan kepada mansuia, baik yang menyangkut hak dirinya, hak orang lain, maupun hak Allah. Ibnu Katsir membawakan beberapa perkataan sahabat dan tabi’in tentang makna amanah dengan menyatakan, makna amanah adalah ketaatan, kewajiban-kewajiban, (perintah-perintah) agama, dan batasan-batasan hukum.
Awal mula Allah memberi amanah kepada alam semesta, yakni langit, bumi dan bahkan kepada gunung-gunung, semua menolak dan hanya manusia yang mau menerimanya dan manusia dikatakan sebagai mahkluq zhalim dan bodoh. Ini sesuai QS. al-Ahzab/33: 72, artinya “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanatkepada langit, bumi dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh.” Catatan penting dari ayat ini sebagai muhasabah diri, manusia itu rendah dihadapan Allah, maka jika manusia sudah bisa merendahkan diri serendah-rendahnya maka tidak akan ada orang lain yang bisa merendahkannya lagi.
Ketika Allah memberikan amanah kepada Nabi Adam sebagai khalifah dimuka bumi, maka bersamaan dengan itu Allah memberikan fasiltas dengan mengajari Nabi Adam berbagai nama-nama segala sesuatu yang dibutuhkan, sebagai mana terdapat dalam QS. al-Baqarah/2:30-31. Fasiitas yang diberikan Allah kepada Nabi Adam ini berlaku kepada seluruh manusia. Bahwa manusia adalah sebagai khalifah, dimana diberi fasilitas yang cukup oleh Allah untuk melaksanakan tugas sebagai khalifah dimuka bumi. Pertanyaannya adalah sejauh mana manusia menyadari sebagai kahlifah dan dapat memanfaatkan fasilitas yang diberikan Allah. Seorang Presiden RI tentu sangat banyak fasilitas yang diterimanya, seluruh keperluan presiden semua difasilitasi dan dibiayai negara, namun fasilitas tersebut digunakan semua apa tidak, dapat dimanfaatkan untuk kebaikan atau keburukan, itulah yang dimintai pertanggung jawaban.
Amanah terhadap sesama manusia harus ditunaikan bagi seorang Muslim, amanah jika berkaitan dengan pekerjaan fisik maka dilaksanakan sesuai dengan standar peraturan perusahaan yang telah ditetapkan. Amanah berkaitan dengan kegiatan non fisik seperti menyimpan rahasia kebaikan atau rahasia keburukan, maka menjaga rahasia tersebut agar tidak ada satupun yang mengetahuinya, seandainya sesuatu tersebut muncul ke permukaan karena keburukannya atau kebaikan tersebut dibuka Allah maka sesuatu yang dirahasiakan tersebut tidak melalui orang lain, tidak melalui dirinya. Amanah berkaitan dengan mendapat kepercayaan menjabat sebagai pengurus organisasi, menjadi amil zakat atau mendapatkan kepercayaan menjadi penguasa, maka makna amanah adalah adil, adil dalam memimpin, adil dalam membuat kebijakan, adil dalam membuat keputusan untuk kebaikan bersama.
Di dalam al-Qur’an sangat beragama, arti tersebut antara lain : Pertama jangan berkhianat sebagaimana terdapat dalam QS. al-anfal/8:27 artinya “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. Shaleh abullah menjelaskan dalam tafsirnya janganlah kalian menghianati Allah dengan meninggalkan kewajiban dan perintah-perintah yang telah dibebankan kepada kalian, serta melanggar larangan-larangan yang tidak boleh kalian dekati; dan janganlah kalian menghianati Rasulullah dengan meninggalkan sunnah-sunnahnya, menyelisihi perintahnya, dan melanggar larangannya; serta janganlah kalian menghianati amanah yang telah diberikan kepada kalian dengan menyebar rahasia di antara kalian, melanggar perjanjian yang telah kalian buat, mengingkari barang titipan yang dititipkan orang lain kepada kalian, dan melalaikan hak-hak materiil orang lain yang wajib kalian jaga. Padahal kalian telah mengetahui akibat buruk dari menghianati Allah dan rasul-Nya serta amanat yang telah diserahkan kepada kalian.
Kedua larangan menyembunyikan kesaksian atau keharusan memberikan kesaksian yang benar sebagaimana di dalam Qs. Al-Baqarah/2:283 Artinya “ Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Menurut Wahbah Zuhali Dalam Tafsir Alwajiz menjelaskan boleh bermuamalah tanpa adanya pencatatan dokumentasi maupun saksi-saksi atas dasar firman Allah,”Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai dengan sabagian yang lain, maka hendaklah yang di percayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya).’ Namun dalam kondisi yang seperti ini di butuhkan sipat ketakwaan dan takut kepada Allah. Karena jika tidak demikian, maka pemilik hak dalam posisi dapat di rugikan dalam haknya. Karena itu,dalam kondisi seperti ini Allah memerintahkan orang yang menanggung hak orang lain untuk bertakwa kepada Allah dan menunaikan amanat yang di tanggungnya.
Ketiga amanah berarti melaksanakan hukum secara adil, sesuai dengan QS. an-Nisa/4:58 artinya “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” Shalih bin Abdullah dalam tafsir al-Mukhtashar menjelaskan Allah mengarahkan manusia untuk berbuat dua jenis amalan Shalih, yaitu menunaikan amanat dan memberi keputusan bagi orang lain dengan adil. Firman ini ditujukan bagi setiap orang yang diberi amanat, baik itu yang berhubungan dengan hak Allah ataupun yang berhubungan dengan hak manusia, baik itu berupa jabatan, harta, dan alin sebagainya. Rasulullah mengingatkan mengenai amanah dalam sabdanya melalui Riwayat Imam Ahmad artinya; “Tidak ada iman yang sempurna bagi orang yang tidak memiliki sifat amanah, dan tidak ada agama yang sempurna bagi orang yang tidak menepati janji”.
Keempat Amanah berarti menepati janji, sebagaimana dalam QS. Al-Mukminun/23:8 artinya “Dan (sungguh beruntung) orang yang memelihara amanat-amanat dan janjinya” dan Qs. Al Ma’arij/70: 32 artinya Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya, Maksud dari ayat ini menurut Muhammad bin Shaleh al-Syawi dalam tafsir al-Nafahat menjelaskan menjaga dan memeliharanya serta berusaha dengan sekuat tenaga untuk menunaikan dan memenuhinya. Ini mencakup seluruh amanat antara hamba dengan Rabbnya seperti tugas-tugas syariat rahasia yang hanya diketahui Allah semata. Serta amanat-amanat antara hamba dan makhluk lain dalam kaitannya dengan harta dan rahasia. Perjanjian yang dimaksudkan juga mencakup perjanjian yang dibuat oleh Allah dan perjanjian yang dibuat untuk makhluk atas Allah, sebab manusia akan dimintai pertanggung jawaban atas janjinya, apakah ia menunaikan dan memenuhinya ataukah sebaliknya dengan menolak dan mengkhianatinya serta tidak menunaikannya, sementara Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mibah menjelaskan Di samping itu, orang-orang Mukmin selalu menjaga apa saja yang diamanatkan kepadanya, baik harta, perkataan (pesan) atau perbuatan dan sebagainya. Juga selalu menepati janji mereka kepada Allah dan janji antara sesama mereka. Mereka tidak mengkhianati amanat dan juga tidak melanggar janji.
Didin Hafidhuddin menjelaskan amanah yang diberikan manusia ada tiga macam yaitu amanah ibadah, sebagaimana tercantum dalam QS Adz-Dzariyat /51: 56, “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku”. Intinya apapun pekerjaan atau tugas apa pun, selama itu baik dan halal, harus kita niatkan ibadah kepada Allah. Kedua amanat sebagai khalifah. Pengertian khalifah adalah kita punya tugas berbuat yang terbaik bagi manusia dalam hidup ini. Ketgia amanah adalah amanah wadiah atau titipan. Segala yang melekat pada diri manusia, harta, benda, ilmu, pangkat dan jabatan, bahkan diri kita sendiri, semuanya merupakan titipan Allah yang pasti akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah di akhirat kelak.
Said Agil Siradj mengai amanah menjadi dua yaitu diniyyah samawiyah muqaddasah dan insaniyah ardhiyah ijtihadiyah. Maksud diniyyah samawiyah muqaddasah yaitu amal agama dari yang datangnya dari langit, yang suci yang mulia, karena merupakan monopoli Allah, namanya amanah diniyyah ilahiyah samawiyah Muqaddasah yakni sesgala sesuatu yang terkandung dalam akidah rukun iman dan syariat rukun islam. Aanah yang kedua, yaitu insaniyah ardhiyah ijtihadiyah. Maksudnya amanah yang diberikan kepada manusia yang bersifat usaha yang berkitan dengan akal untuk berijtihad, profane (duniawi) dan bersifat kreativitas.
Dalam menjalankan amanah, manusia memiliki kebebasan untuk berkreatif, berinovasi baik dalam kaitan dengan membuat kebijakan, menjalankan pekerjaan, mengembangkan etika dan budaya dan bahkan dalam beribadah mendekatkan diri kepada Allah. Semua proses usaha manusia akhirnya akan nilai oleh Allah, apakah dalam berkratif menjalankan amanah menjadikan semakin jauh dari Allah, ataukah ikhtiar manusia tersebut akan semakin mendekatkan diri kepada Allah, yang pasti semau akan diminta pertanggung jawaban oleh Allah. Wallahu a’lam.